Dalam menjalani kehidupan, kita selalu hidup berbarengan dengan emosi. Baik yang bersifat positif maupun yang negatif, emosi pasti dan selalu ada dalam diri kita. Maka dari itu, emosi itu adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dan tentu saja, kita gak boleh abaikan emosi kita begitu saja. Manajemen emosi adalah keterampilan yang sangat penting, terutama bagi guru yang setiap hari berinteraksi dengan siswa, rekan kerja, dan lingkungan sekolah yang dinamis. Emosi, baik positif maupun negatif, adalah respons alami terhadap peristiwa sehari-hari. Namun, kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga keseimbangan antara profesionalisme dan kesejahteraan pribadi. Emosi yang tidak terkendali dapat berdampak buruk pada diri sendiri dan orang di sekitar, terutama bagi siswa yang sangat sensitif terhadap perilaku guru mereka.
Emosi adalah perasaan intens yang dirasakan seseorang sebagai reaksi terhadap sesuatu atau seseorang. Emosi seseorang muncul gak hanya dipicu oleh hal-hal besar saja, melainkan juga oleh hal-hal kecil. Emosi dalam psikologi seringkali didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang merasakan perasaan yang kompleks, sehingga mengakibatkan perubahan fisik maupun psikologis terhadap dirinya sendiri. Perubahan-perubahan itu sangat mempengaruhi pikiran serta tindakan seseorang.
Emosi bukan hanya tentang ego, amarah, stress, dan kesedihan. David R Hawkins MD, Ph.D. yang dijadikan buku berjudul Power vs Force: An Anatomy of Consciousness, The Hidden Determinants of Human Behavior, menjelaskan bahwa pikiran dan emosi manusia itu memiliki berbagai tingkatan energi (getaran). Emosi dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu ada kelompok nafsu lawwamah, nafsul ammarah, dan nafsul muthmainnah. Berikut adalah tingkatan level emosi:
Tingkatan Emosi Manusia Dewasa:
- Nafsu Ammarah bis su’u, yaitu nafsu yang selalu mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan dosa dan perilaku tercela, serta melakukan yang haram dan batil.
Allah Subhanahuwa ta’ala menyebut nafsu ini dalam surah Yusuf, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Yusuf: 53].
- Nafsu Lawwamah berkenaan dengan nafsu tercela. Nafsu ini sering disebut nafsu tercela karena dengan nafsu ini, seseorang melakukan kesalahan, baik dosa besar maupun dosa kecil, atau tidak menghiraukan perintah yang sifatnya wajib maupun yang dianjurkan. Allah Subhanahu Wa ta’ala menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran, “Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” [QS. al-Qiyamah: 2]
- Nafsu Muthmainnah berkenaan dengan ketaatan jiwa seseorang dengan Rabb-nya, karena iman dan amal shalehnya. Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman, Artinya : (yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. [QS. ar-Ra’du: 28]
Bila orang dewasa ada sepuluh tingkat emosinya, dalam tiga kelompok besar yaitu ada kelompok nafsu lawwamah, nafsul ammarah, dan nafsul muthmainnah. Bila menghafalkan dengan tenang, akan sampai pada kondisi muthmainnah. Keuntungannya sampai di nafsul muthmainnah adalah tenang, ikhlas. Cara menaikkan frekuensi tubuh adalah dengan menambahkannya dengan frekuensi gelombang otak. Salah satunya dengan menarik nafas panjang, nafas dada, nafas pendek, nafas dalam dengan benar, dan banyak mengucapkan istighfar.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja rutin membaca istighfar, maka Allah subhanahu wata ‘alaa akan memberikan solusi atas setiap masalah yang dihadapinya, dan Dia akan memberikan rezeki dari jalan yang tak terduga.” Hadits riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi.
Terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengelola emosi negatif dengan efektif.
- Pertama, latihan mindfulness atau kesadaran penuh dapat menjadi alat yang sangat berguna. Mindfulness membantu kita untuk fokus pada momen saat ini dan menghindari reaksi emosional yang berlebihan terhadap peristiwa eksternal. Meluangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk bermeditasi atau melakukan teknik pernapasan dalam dapat membantu mengatur emosi dan memberikan ketenangan pikiran. Sebagai guru, menjaga kesabaran dan memberikan contoh pengelolaan emosi yang baik juga dapat memberi pengaruh positif pada siswa.
- Kedua, kemampuan untuk mengenali tanda-tanda fisik dari emosi seperti detak jantung yang cepat, keringat berlebih, atau ketegangan otot dapat menjadi peringatan dini bahwa kita perlu mengambil langkah mundur sejenak sebelum bereaksi. Dalam situasi yang menantang, penting untuk tidak bertindak impulsif. Mengambil jeda, seperti menarik napas panjang atau meninggalkan ruangan untuk sementara, dapat membantu kita meredakan gejolak emosi sebelum kembali ke situasi dengan pikiran yang lebih jernih.
- Selain itu, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif juga memainkan peran penting dalam manajemen emosi. Berbicara dengan rekan kerja atau atasan secara asertif, bukan agresif, dapat membantu menyampaikan perasaan dan kebutuhan tanpa menimbulkan konflik. Guru yang mampu mengkomunikasikan perasaan mereka dengan baik juga dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan mendukung. Hal ini penting karena lingkungan sekolah yang kondusif turut membantu kesejahteraan emosional guru dan siswa.
Namun, manajemen emosi tidak hanya tentang menahan atau menekan perasaan. Ada kalanya kita perlu mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat, misalnya dengan berbicara kepada rekan sejawat atau meminta bantuan profesional jika diperlukan. Menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Berbagi cerita dan tantangan dengan sesama guru bisa menjadi cara yang efektif untuk mengurangi beban emosional dan mencari solusi bersama.
Sebagai penutup, penting bagi setiap guru untuk memahami bahwa manajemen emosi adalah perjalanan yang memerlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Dengan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat, kita tidak hanya akan menjadi pribadi yang lebih baik tetapi juga guru yang lebih efektif. Peran kita sebagai pendidik bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menjadi teladan dalam hal pengelolaan diri, termasuk emosi. Dengan manajemen emosi yang baik, kita dapat menghadapi tantangan dalam kehidupan dan profesi dengan lebih tenang, bijaksana, dan produktif.